INGATLAH AKU
Senja telah datang menghampiri langit eropa, sinarnya gambarkan siluet
keagungan menara Eiffel yang kini berjarak 20 meter dari titik aku
berdiri. Eksotis. Dicampur dengan keindahan sungai-sungai yang mengalir
begitu saja menuju hulu ia menjadi semu. Mengalun syahdu, dengan suara
gemercik air menggenang tenang. Kebanggaan tersendiri yang selalu ada
untukku, berdiri di sini untuk mengejar mimpi yang selama ini kubangun.
Lalu
lalang orang berjalan telah memenuhi kota ini. Paris. Mentari yang
tadinya menyongsong cakrawala mulai kelap dilahap masuk oleh sudut
langit kota. Semerbak harum khas eropa ini, temani soreku menuju Café Du
Trocadero, untuk mememulai menulis buku. Memesan secangkir teh panas
dengan kombinasi biskuit, dapat menambah suasana hati menjadi lebih
baik. Sejenak kupusatkan pandanganku pada buku yang sedang kubawa. Entah
enggan rasanya, ingin membuka lembaran-lembaran cerita yang kutulis
saat ini. Buku yang akan kuterbitkan saat ini menyimpan beribu kenangan
manis yang tak mampu kuungkap secara lengkap. Akhir kata, ku masukkan
buku itu kedalam tas.
 |
Ingatlah Aku - Cerpen Cinta Sedih |
Secangkir teh dan biskuit pesananku datang.
“Merci!” Ucapku tersenyum
kepada pelayan yang menyuguhkan pesananku. Kuteguk perlahan secangkir
kopi panas yang kuselipkan pada jemari-jemariku. Aroma dan rasanya
masihlah sama, nikmat, tak dapat ditolak. Masih seteguk teh masuk
kedalam tenggorokanku. Hujanpun tiba.
Hujan datang! Batinku tersenyum. Hujan memang sedang mengguyur Kota
Paris. Tapi keindahannya membuat Paris terkenal lebih hidup saat hujan
turun membasahi eloknya Kota Paris. Dapatkah kau bayangkan betapa
menakjubkannya kota ini dalam hujan? Bayangkan Paris pada tahun 20!
Hujan datang, dengan pelukis dan penulis hebat pada zaman itu. Tentu
siapa yang tak kenal dengan Cole Porter, Ernest Hemingway dengan
karyanya The Sun Also Rises, The Old Man and The Sea, A Farewell to
Arms, dan buku-buku lainnya yang terkenal laris. Tak kalah lain dengan
F. Scott Fitzgerald, karyanya yang menjadi salah satu daftar buku
favoritku, The Beautiful and Damned. Sangat menakjubkan. Berlari dibawah
hujan membawaku pulang ke apartemen yang tak jauh dari Café Du
Trocadero.
Dengan badan basah kuyup, kupaksakan untuk masuk ke apartemen, “Hai!” Sapaku pada Tania roommate-ku, dan juga teman.
“Cepat
ganti baju, Stev!” Ujar Tania tak menghiraukan tatapanku dan masih
membaca majalah dipangkuannya. Ia berasal dari Singapur, tak mungkin
asing dengan paras wanita Singapur. Tentu saja, berbadan langsing, mata
sipit, berambut lurus dan hitam lebat. Berbeda dengan parasku, aku
memiliki rambut gelombang dengan warna coklat dan mata lebar asli
keturunan Jerman.
“Journal!” Ujar Tania melempar koran padaku.
Tangkapan bagus. Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju
kamar. Perlahan kucoba membaca setiap berita yang muncul di koran. Dan
yang menjadi pusat perhatianku adalah… Aku menyipitkan kedu mataku.
Pemenang juara bulutangkis.
“Gerald Denny K.” Kataku perlahan,
“Internasional…” Gumamku lagi-lagi. Aku meniti raut wajahnya pada foto
tersebut. Medali yang terkalung di lehernya serta senyuman yang mampu
membuka aura baru yang telah lama hilang tersungging di kedua bibirnya.
Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya malah. Seseorang yang kucinta selama
ini. Kenangan dua tahun silam yang pernah kujalani, seolah-olah muncul,
memenuhi pikiranku kembali. Sekejap aku pejamkan kedua mataku, dan
menarik nafas berat. Tetes air mata kebahagiaan ini spontan keluar
dengan sendirinya.
Harus dengan cara apalagi aku harus
melupakanmu, berbagai cara telah kulakukan tetapi itu selalu sia-sia.
Lihatlah dirimu sekarang, kau telah datang menjemput impianmu, dan
lihatlah aku, aku. Aku masih tak tahu aku telah mencapai mimpiku atau
belum. Pastinya, aku masih belum sehebat Hemingway, tokoh kebanggaanku.
Masih ingat itu? Aku memang sedang berdiri di kota besar ini, dan
mungkin, masih belum bisa menjemput impian yang selama ini kubangun
dengan kerja kerasku. Aku menangis karena aku bahagia, melihatmu
memenangkan perlombaan itu. Aku menangis karena impianmu telah datang
dalam dekap genggammu. Aku bahagia karena engkau telah mampu mengukir
kebahagiaan itu untuk semua orang yang pernah mengenalmu. Termasuk aku.
Selama dua tahun lebih aku telah memungkiri perasaan yang pernah ada.
Aku memungkiri perasaan yang selalu bernaung dalam hatiku. Hingga sampai
saat inipun aku tak tahu, kau pernah mempunyai perasaan yang sama
denganku atau tidak. Aku tak ingin tahu, karena aku lelah, selalu
mencintai seseorang, yang tak mencintaiku. Dan kemungkinan besarnya, kau
adalah salah satunya. Aku telah menunggu perasaan itu hingga dua tahun
terakhir aku bertemu denganmu. Itupun saat aku dan kau masih duduk
dibangku SMA. Canda tawamu denganku dulu yang selalu memenuhi benakku.
Kini, dua tahun tersebut berlalu dengan sangat lambat bagiku, bagiku,
yang selalu mengenangmu, dalam setiap waktu. Kau tak pernah tau itu.
Karena kau tak pernah mengerti tentang perasaanku yang terjalin
karenamu. Memori itu datang mengingatkanku akan padamu. Apakah aku
sia-sia melupakanmu dengan fokus pada bukuku yang saat ini sedang
kubuat? Perasaan itu tak pernah hilang sampai saat ini, dan entah
mengapa itu bisa terjadi.
Kubuka perlahan mataku yang sedari tadi
berlinang bola-bola kristal yang membasahi pipiku. Aku menangis bahagia
bukan kesedihan. Aku menangis, karena mimpinya yang dulu pernah ia
katakan padaku, kini telah menjadi nyata. Kurebahkan badanku dikasur
dengan menatap jendela kaca lebar, dengan cahaya lampu berpijar pada
tiap sudut kamarku yang sunyi. Terngiang lagi memori disetiap elegi yang
mampu gambarkan masa laluku bersamanya. Dahulu.
Di mana ia sekarang?
Aku merindunya. Hanya kata-kata itulah yang terulang-ulang dibenakku.
Hingga aku terlelap dalam tidurku. Hujan temani air mataku yang sedang
mengalir. Hujan temani lukaku yang pernah ku jabarkan pada cerita manis
yang pernah ku untai. Apakah usahaku melupakanmu hingga aku berdiri di
Paris ini akan sia-sia?
***
Serasa berat kedua mataku terbuka
saat pagi menjelang. Jelasnya, kedua mataku sangat bengkak, atau bisa
dikatakan kedua kelopak mataku sungguh-sungguh tirus. Aku segera keluar
kamar, pergi kedapur untuk makan pagi.
“Bonjour!” Sapa Tania saat aku mengambil posisi duduk untuk makan pagi, “Matamu,” Tania menunjuk mataku.
“Stevy,
listen to me. Love, makes life's sweetest pleasures and worst
misfortunes.” Belum sempat menjawab pertanyaannya. Ia sudah memberikan
semacam advice padaku. Aku hanya tersenyum, meresapi perkataan Tania.
Sederhana, tetapi penuh makna.
“Bagaimana kau bisa tahu kalau aku−” Aku menghentikan perkataanku.
“Aku
sama sepertimu, aku wanita. Aku dapat merasakannya, Stev.” Ia mulai
menggigit rotinya untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi aku hanya
tersenyum, meratapi apa yang tadi malam kurasakan. Menangis didalam
derasnya hujan yang mengguyur. Aku mengambil nafas dalam-dalam.
“Tan…” Panggilku ragu.
“Ya?”
“A-aa-apa…”
Ucapku terbata-bata, “Aku akan menjadi penulis hebat di sini?” Aku
memejamkan mata. Penasaran apa jawabannya setelah ini.
“Hebat atau
tidak adalah pilihan. Kau ingin hebat, maka kau harus berusaha. Maka
sebaliknya, jika kau tak pernah sungguh-sungguh atas keinginanmu, kau
takkan pernah mencapai keinginan itu, walaupun kau memimpikannya sampai 7
langitpun. C’est la vie.” Jelasnya padaku. Aku mengangguk mantap,
semakin semangat untuk memulai mimpiku. Mimpi yang akan kucapai. Menjadi
penulis legendaris yang selalu diingat seluruh manusia, dipenjuru
dunia. Seperti mereka tokoh favoritku, Hemingway, S. Fitzgerald, dan
penulis hebat lainnya, disegala Negara. Mereka hidup pada zaman, yang
menyimpan historika keindahan.
Siang ini begitu melelahkan
rupanya. Mentari sedang senang-senangnya menyorotkan sinarnya. Rencanaku
siang ini, setelah pulang dari kampus, adalah pergi ketempat biasa,
Café Du Trocadero, untuk meneruskan menulis bukuku yang ke-20 untuk
diterbitkan oleh penerbit besar di Prancis. Aku tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan ini. Berjalannya waktu bergulir, aku terus menulis,
meluangkan ideku, bernostalgia pada masa laluku. Ya, tidak ada topik
yang mengerikan jika cerita itu benar, dengan prosa yang bersih dan
jujur “Keanggunan di bawah tekanan.” – Hemingway.
“Quand on n'a que l'amour
Pour tracer un chemin
Et forcer le destin
A chaque Carrefour”
Lagu itulah sedang bersenandung bersama, ideku yang terus menerus mengembang.
Hari
semakin gulita, lampu-lampu kota mulai menyala karena gelapnya suasana.
Hilir mudik mobil berderung kesana kemari. Aku masih tetap fokus pada
bukuku. Hingga akhirnya, selesai. Aku mampu menyelesaikannya. Aku
bergegas untuk pulang, tak sabar menunggu datangnya esok pagi, dan
menyetorkan naskahku kepada penerbit. Ini akan menjadi hal terbaik dalam
hidupku.
***
Tepat sekali. Hari ini adalah hari Minggu. Aku
sedang bersiap diri didepan kaca. Mengenakan baju terbaikku, dengan
semprotan harumnya parfum, serta tatanan rambut yang menghiasi diriku
pagi ini. Aku menghembuskan nafas dengan rileks, aku keluar kamar dengan
buku yang ku bawa.
“Tania!” Aku datang kepada Tania, memegang tangannya erat-erat.
“Kau gugup?” Tanya Tania heran.
“Hari ini aku akan menyerahkan naskahku. Kau harus temani aku hari ini!” Tegasku.
“Relax.
Everything’s gonna be okay, trust me sweetheart.” Tania mulai
memelukku, “Good luck, baby! Aku akan temanimu hari ini.” Aku mengangguk
percaya, melepas pelukan Tania. Kami segera keluar apartemen untuk
pergi menuju penerbit. Aku dan Tania berjalan dengan riang, bersenda
gurau, meskipun sejujurnya aku masih tak bisa tersenyum tulus, karena
gugupnya hatiku. Detak jantungku masih berdegup kencang tak sesuai
dengan irama.
“Stevy, jika bukumu sudah diterbitkan. Jangan lupa
traktir aku ya. Dan aku harus menjadi, orang pertama yang membaca
bukumu.” Tania mencolek daguku.
“Pastinya. Berdoalah untukku, kesuksesanku.” Aku menatap tajam mata Tania.
Aku
hendak menyebrang melawan arus di perempatan lampu merah kota. Entah
bagaimana kejadiannya, aku sama sekali tak menduga, apakah aku yang
terlalu terburu-buru, tidak fokus, atau tidak melihat jalan, aku sama
sekali tak mengerti. Sebuah mobil menabrak tubuhku, aku terpental jauh.
Tergolek lemas di tengah jalan. Seketika, aku hanya dapat mendengar
jeritan Tania yang terdengar semu. Aku berusaha menggerakkan tubuhku,
tetapi rusuk-rusukku telah merapuh. Aku tak dapat melihat lagi. Buram.
Saat itu pula, semua pandanganku menjadi hitam pekat, dan aku tak sadar
diri.
Aku sedang ada di suatu lorong besar yang tak berhujung. Berdiri
seorang diri, tanpa seseorang. Keadaan saat itu hanyalah tenang.
Pikirku, aku telah mati. Hingga aku berjalan tiada henti, dan titik
ujung dari perjalananku tak kutemukan. Tiba-tiba saja aku menemukan
lengan kokoh penuh dengan cahaya putih merengkuhku pergi kesuatu tempat,
aku-tak-tahu-kemana. Pada saat itu pula aku ingin memanggil-Nya, Tuhan.
Ia membawaku ketempat luar biasa indah, ataukah ini yang dinamakan
kedamain?
***
Mataku memang terpejam. Tapi aku masih dapat
melihatmu. Tuhan… Mungkin memang satu pejamlah, aku bisa melihatmu,
melihat keindahan ini. Kali ini, aku telah sampai di ujung perjalananku.
Seperti hujan. Aku penasaran bagaimana nanti aku akan dikenang,
kuserahkan semua pada kalian. Untuk kedua orangtuaku yang selalu
mendukungku dengan berbagai hal. Roommate-ku, Tania, yang selalu
mendengarkan keluh kesahku dan selalu menyemangatiku. Mungkin aku belum
sempat meminta maaf kepada kalian yang selalu kucinta. Teman dan sahabat
SMA-ku yang masih saja kuingat sampai saat ini. Kakakku yang selalu ada
untukku saat aku bersedih. Adik-adikku yang mungkin akan menjadi
penerus dikeluarga tercintaku. Indonesia, terimakasih atas segala
limpahan cinta serta kasih yang selalu ada untukku dan keluargaku.
Khususnya, untuk orang yang kucintai sampai titik umurku usai. Gerald,
yang mampu berikan arti dihidup ini. Berkatmulah aku menjemput impianku.
Membuat buku yang menceritakanku dan dirimu. “The Last Good Day” buku
terakhir, yang mampu kubuat. Buku terakhir, yang menceritakan tentang
perjalanan kisahku denganmu yang tak bisa kulupakan. Sebait paragraph
buku terakhirku… untukmu, Gerald.
“Mungkin kau di sana telah
melupakanku. Tapi aku disini, selalu mencintaimu dengan segala usahaku
yang masih mengingatmu. Meskipun berbagai cara telah kutempuh untuk
melupakanmu. Dua tahun silam, kita tak pernah bertemu. Tragisnya, aku
masih hafal aroma parfummu, kebiasaan baik dan burukmu, hal yang paling
tidak kau suka, hingga hal yang paling kau suka. Anggap saja, inilah sad
ending disetiap cerita, dan inilah salah satunya. Aku tak pernah
mengerti, apakah kau mempunyai perasaan yang sama denganku atau tidak,
aku tak tahu. Dan memang sebaiknya aku tak usah mengerti, apa isi
hatimu, dan siapa sosok menawan di hatimu saat ini. Aku pikir, bukanlah
aku. Aku selalu menunggumu, tahukah kau tentang itu? Kaulah yang dapat
membuatku bahagia, membuatku mengerti artinya hidup dengan segala mimpi
yang pernah kita ucapkan dulunya. Ingatkah kau tentang itu? Kini,
mimpimu telah berhasil kau capai. Aku? Aku tak tahu apakah mimpiku ini,
telah kucapai, atau belum. Aku bangga padamu, aku ucapkan “Terimkasih
Tuhan, kau menitihnya, membangun mimpinya.” Aku hanya berharap 1 hal
padamu. Aku ingin sekali saja menjadi hal manis, dan bagian terindah
yang pernah singgah di hati kecilmu. Tepatnya, dua tahun yang lalu.
Ingatlah! Aku selalu mencintaimu. Meskipun kau-tak-pernah-mencintaiku.
Je t’aime.”